TRADISI BERLADANG MASYARAKAT BIMA
TRADISI BERLADANG MASYARAKAT BIMA
Oleh : Pangeran Arif
Oleh : Pangeran Arif
https://kampungmediasareindai.wordpress.com/2011/01/ |
Aktivitas
berladang merupakan warisan leluhur yang menjadi tradisi dan diwariskan secara
turun temurun, begitupun bagi masyarakat Bima. Tradisi berladang mereka
ditandai dengan kehidupan di atas gunung. Mereka menggarap ladang
berpindah-pindah dari gunung yang satu, ke gunung lainnya. Langkah ini juga
ditempuh sebagai sebuah upaya pemenuhan kebutuhan tambahan dalam rangka
bertahan hidup, juga usaha menjauhkan diri dari kemiskinan. Selain itu,
perpindahan dan penyebaran penduduk, sangat dipengaruhi oleh tradisi berladang
rakyat yang berpindah-pindah.
Untuk memulai berladang,
mereka mengadakan musyawarah terlebih dahulu. Hal ini berkaitan dengan
pembagian kerja antara laki-laki dan perempuan. Laki-laki sibuk mempersiapkan
seluruh peralatan seperti batu asah/kamalo, parang/cila, kapak/ponggo, maupun
tembilang/cu’a, serta alat lainnya. Sementara kaum perempuan menyiapkan bekal
untuk makan dan minum. Itulah pembagian kerja dalam mecapai tujuan bersama.
Kaum perempuan juga melakukan penanaman pada ladang yang sudah disiapkan kaum
laki-laki.
Kaum laki-laki membabat
kayu (ngoho) pada lokasi yang akan dijadikan ladang (oma). Pembabatan dilakukan
berhari-hari, kadang menempuh waktu yang cukup lama jika lahannya cukup luas.
Untuk mempercepat, biasanya dengan membiayai masyarakat lainnya untuk membantu
pembabatan atau penebangan. Setelah penebangan kayu selesai, kemudian
dimulailah tahap berikutnya yakni pembakaran.
Sebelum memasuki waktu penanaman padi, mereka melakukan ritual adat yang dilaksanakan di atas bukit, disertai dengan do’a bersama dan musyawarah. Proses tersebut berlangsung dengan dipimpin oleh orang “tua” atau orang yang percayakan sebagai tokoh masyarakat yang berladang di lokasi tersebut.
Sebelum memasuki waktu penanaman padi, mereka melakukan ritual adat yang dilaksanakan di atas bukit, disertai dengan do’a bersama dan musyawarah. Proses tersebut berlangsung dengan dipimpin oleh orang “tua” atau orang yang percayakan sebagai tokoh masyarakat yang berladang di lokasi tersebut.
Penanam padi di ladang
yang dilakukan kaum perempuan, baik yang tua maupun muda merupakan penanam
buruhan. Di antaranya ada yang di upah/gaji dengan memberikan uang tunai,
beras, padi. Ada pula yang membantu dengan kesepakatan. Di kala orang tersebut
menanam padi di ladangnya, akan dibantu kembali (cepe/cempe rima, weha rima).
Dalam proses penanam,
terdapat pula seseorang yang mengiringinya dengan biola atau gambus, perpaduan
keduangnya dalam bahasa bima di sebut “nggu’da sagele”. Ndiri ro sagele
merupakan sebuah harmoni yang hidup dalam tradisi penanaman padi di ladang.
Sagele dapat dilakukan dengan “biola” yang disebut juga dengan ndiri, alat
lainnya yang biasa juga di gunakan yakni gambus (gambo). Kadangkala di iringi
dengan lagu-lagu khas dana mbojo, seperti haju jati, jaraledo, wadu ntanda
rahi, sangiang, dan lain sebagainya.
Biasanya, proses
penanaman padi di ladang akan lebih cepat jika diiringi dengan alunan biola
atau gambus. Penanaman akan dilakukan secara serentak, syarat dengan
kebersamaan. Alat yang digunakan semacam tembilang (cu’a sagele) yang di rancang
khusus untuk menanam padi di ladang, terbuat dari sebilah besi, bentuknya
memanjang, panjang sekitar 20 hingga 30 cm, lebarnya satu atau satu setengah
senti meter. Di bagian ujung atas tembilang, terdapat sebuah lubang, yang
sengaja di buat untuk dimasukan kayu sebagai gagang dikala menanam. Gagangnya
terbuat dari sebantang kayu (Haju Luhu) yang telah di desain dengan baik dan
berdiameter sekitar 8 cm dan panjang 80 cm.
Tanaman yang ditanam
selain padi, ada pula jagung, wijen, gandum, mentimun, labu, serta umbi-umbian
lainnya. Beberapa tanaman tambahan merupakan bahan pelengkap berupa sayur mayur
selama menjalani hidup diladang, kadangkala umbi-umbian yang dipanen itu dijual
pula dipasar.
Ketika memasuki musim
panen, prosesnya hampir sama dengan musim tanam, yang terlibat sepenuhnya ialah
perempuan, perbedaannya yakni alat yang digunakan untuk memanen berupa pemotong
padi yang dalam bahasa bima disebut “kentu”. Kentu digunakan khusus untuk padi
gunung, sedangkan sabit (rombe) digunakan untuk panen padi yang biasa ditanam
disawah.
Padi yang telah dipanen
oleh perempuan, kemudian di ikat (to’do) agar bisa di letakan dengan baik
diatas pemikul. Untuk padi gunung, dibawa pulang kerumah dengan dipikul (Lemba)
oleh laki-laki dan perangkat pikulnya terbuat dari bamboo (o’o) yang dirancang
khusus untuk alat pikul padi, gandum dan beberapa hasil panen lainnya.
Perempuan bisanya menjunjung (su’u) yakni meletakan padi di atas kepala, padi
yang telah dikemas dengan sarung atau kain itulah yang di junjung oleh perempuan.
Dalam aktivitas
berladang tercipta harmoni hubungan laki-laki dan perempuan, harmoni hubungan
manusia dengan alam. Harmoni kehidupan laki-laki dan perempuan ditandai dengan
pembagian kerja yang baik untuk mencapai tujuan. Menciptakan keseimbangan peran
karena kesatuan peran keduanya ialah saling melengkapi.
Komentar
Posting Komentar